Kusumo memang memiliki segudang kelengkapan untuk menjadi jawara nasional, bahkan menjuarai lebih dari 2-3 kelas dalam setiap even yang diikutinya. Misalnya sangat rajin bunyi, ngekek panjang, serta gaya dan volume yang maksimal.
Om Jimmy DS mempunyai kesan tersendiri ketika menggelar kontes Surabaya Cup, 10 Mei lalu, tatkala lovebird Kusumo menjuarai enam kelas sekaligus (pentatrick).
“Sebelumnya beberapa lovebird mania bilang kalau volume Kusumo kurang, sekadar mengandalkan kerajinan dan ngekek panjang saja. Tapi setelah saya pantau langsung dari sesi ke sesi, menurut saya volumenya cukup tembus. Jelas terdengar dari pinggir lapangan,” kata Om Jimmy DS.
Penilaian lomba di kelas lovebird memang kompleks. Variabelnya cukup banyak. Tidak hanya volume yang keras. Meski volume LB Kusumo bukan yang paling keras, namun variabel penilaian lainnya luar biasa. Misalnya tingkat kerajinan, durasi ngekek, dan gayanya yang anteng sekali di atas tangkringan.
“Jadi, kalau melihat seluruh aspek penilaian, terus terang saya mengatakan sulit sekali mengalahkan kovebird Kusumo pada penampilan terbaiknya. Burung ini benar-benar fenomenal,” jelas Om Jimmy.
Tetapi Kusumo bukannya tidak mempunyai kelemahan. Beberapa pemain pernah mencoba “mengeksploitasi” kelemahan Kusumo, dengan harapan dapat mengalahkannya.
Misalnya ada yang menaruh lovebird muda yang banyak oncleng, dengan posisi hampir merapat ke gantangan Kusumo. Awalnya Kusumo sempat terpengaruh. Untungnya, itu tidak berlangsung lama, dan segera kembali ke karakter awalnya, sehingga tetap menang dalam even tersebut.
Problem Kusumo jika tampil malam hari
Kelemahan berikutnya pernah dibeberkan sendiri oleh pemiliknya, H Sigit WMP, yaitu kurang nampil jika turun pada saat cuaca sudah gelap atau malam hari. Ini biasa dialaminya saat Kusumo mengikuti lomba yang durasi penilaiannya cukup lama seperti even-even BnR.
Ketika sesi lovebird digelar menjelang atau selepas maghrib, Kusumo kerap tidak mampu menempati peringkat teratas. Misalnya dalam even Road to BnR Award di Lapangan Banteng hingga BnR Award di Taman Bunga Wiladatika Cibubur, beberapa waktu lalu. Kusumo tetap juara pada sesi awal, tetapi bukan yang terbaik pada sesi-sesi terakhir yang digelar malam hari.
Om Sigit pun mencoba membenahi kelemahan itu. Hasilnya mulai terlihat dalam beberapa even usai lebaran. Dalam even Redy Cup I di Jogja (9/8) yang menggunakan juri BnR, Kusumo mampu menjuarai Kelas Sangrilla, sesi ke-25 yang digelar selepas maghrib. Alhasil, Kusumo menyapubersih empat kelas yang dilombakan.
Pekan berikutnya, Minggu (16/8), Kusumo mengikuti even Gubernur Jateng Cup di Balai Sindoro, kompleks PRPP Semarang. Ini juga even garapan BnR. Situasinya jauh berbeda dari lomba konvensional, lantaran digelar di dalam ruangan (indoor). Sebelumnya, hanya Papburi yang berani menggelar even indoor berpagar dan bertembok).
Suka atau tidak suka, Kusumo akan menghadapi situasi yang baru. Bagaimana pun, lomba di dalam ruangan yang mengandalkan penerangan lampu memiliki suasana mirip lomba di malam hari.
Ternyata Kusumo tetap mau tampil maksimal. Bahkan dua sesi terakhir lovebird digelar malam hari, yaitu Kelas Mendut B dan Gedongsongo, tetap dimenangi Kusumo. Makin sempurnalah kemenangan Kusumo kali ini, karena mencetak rekor baru menjuarai tujuh kelas sekaligus dalam sebuah even.
Adaptasi menjadi kata kunci
Apakah ada perlakuan yang berbeda, terutama selama libur puasa dan lebaran, sehingga LB Kusumo mau nampil pada malam hari, maupun dalam even indoor?
Om Sigit WMP menjawab ada, terutama melakukan proses adaptasi atau pembiasaan. Selain itu, terdapat sedikit perubahan pada setelannya, yang sebenarnya bersifat situasional.
“Kebetulan di rumah sedang ada beberapa tukang bangunan yang sedang bekerja. Biasanya Kusumo saya gantang terbuka di luar rumah. Tapi dalam sebulan terakhir, karena ada tukang bangunan yang bekerja, Kusumo saya gantang di dalam rumah,” tutur Om Sigit.
Karena terbiasa digantang di dalam rumah, dibantu penerangan lampu, Kusumo akhirnya malah bisa beradaptasi dengan suasana lomba pada malam hari, di bawah penerangan lampu. Suasana ini juga biasa kita jumpai dalam lomba burung indoor.
Proses adaptasi memang menjadi kata kunci. Bahkan Om Sigit juga melakukan hal ini beberapa saat sebelu gelaran Gubernur Jateng Cup dimulai.
“Waktu itu, pemain lain baru membuka kerodong saat mau gantang. Saya malah meminta kru untuk meletakkan sangkar Kusumo di dalam gedung lomba, lalu buka kerodong. Dengan demikian, Kusumo punya kesempatan beradaptasi dengan suasana lomba,” jelas Om Sigit.
Benar saja! Ketika lomba dimulai, beberapa jagoan yang semula diunggulkan bakal mampu bersaing, justru baru bisa nampil pada sesi ketiga dan seterusnya. Pasalnya, burung-burung itu tidak menjalani proses adaptasi sejak awal.
Om Sigit juga punya kebiasaan unik dalam memperlakukan Kusumo setelah mengikuti sesi yang satu, kemudian istirahat sebelum mengikuti sesi berikutnya. Kebiasaan ini mulai diterapkannya pada even Angkasa Pura Cup IV di Solo, 8 Februari 2015.
“Saat itu cuaca panas menyengat. Saya memberanikan diri untuk membiarkan Kusumo tetap dibuka kerodongnya selama masih istirahat. Bahkan sangkarnya saya taruh di bawah. Sebab saat itu masih suka bunyi. Saya hanya menyiapkan bilah kecil pakai sedotan untuk menyentil kalau dia bunyi,” kata Om Sigit.
Saat itu Kusumo menjuarai dua kelas. Meski sudah moncer sejak awal tahun 2013, prestasi fantastik mulai ditorehkan Kusumo sejak tampil dalam even FairPlay Cup di Solo, 1 Maret 2015. Ketika itu lima kelas berhasil dijuarainya, dan sekali juara 2.
Sejak itu prestasi lovebird Kusumo terus melambung, dan bisa dibilang menjadi lovebird fenomenal tahun ini, sekaligus lovebird terbaik sepanjang sejarah lomba burung kicauan di Indonesia.
Setelan yang dicobanya sejak di Angkasa Pura IB itu kini menjadi tren, banyak diikuti pemain lovebird lainnya. “Ya, sekarang banyak teman yang mencoba mengikuti pola setelan Kusumo, yaitu tak perlu mengerodongnya selama masa istirahat di lapangan. Tips ini juga bisa diikuti rekan-rekan lain yang selama ini susah menemukan setelan lovebird,” tandas Om Sigit.